Senin, 09 Januari 2012

Sikap Yang Benar Terhadap Bulan Shafar


Pergerakan matahari dari siang hingga malam mengakibatkan adanya pergantian dari hari ke hari, minggu ke minggu, bahkan bulan ke bulan. Dan ini merupakan salah satu dari tanda kekuasaan Allah subhanahu wata'ala, sebagaimana dalam firmanNya (yang artinya) : Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa. (yunus : 6)

Tatkala bulan muharram telah berakhir, datanglah bulan yang berikutnya yaitu bulan shafar. Bulan ini tidaklah memiliki keistimewaan atau perbedaan dibandingkan dengan bulan yang lainnya. Namun bagi sebagian orang, mereka menganggapnya sebagai bulan yang berbeda dengan bulan yang lainnya.

Di sebagian masyarakat meraka menganggap bulan ini sebagai bulan yang penuh dengan kesialan, sehingga mereka tidak mau melakukan berbagai acara penting dalam bulan ini, seperti pernikahan, khitan, dan yang lainnya. Ada pula sebagian meraka yang meyakini bahwa dibulan inilah Allah subhanahu wata'ala menurunkan berbagai macam petaka dan musibah, sehingga mereka pun melakukan berbagai ritual dalam rangkan untuk menolak hal tersebut.

Inilah diantara keyakinan sebagian orang terhadap bulan shafar. Keyakinan mereka pada hakekatnya adalah termasuk dalam bentuk tathoyyur (suatu anggapan bahwa suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu, atau tempat tertentu).Orang-orang jahiliyyah dahulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau menghilangkan mudharat.

Hingga kini pun masih ada umat Islam yang tidak mau melangsungkan pernikahan ataupun acara yang lainnya pada bulan Safar karena percaya terhadap khurafat tersebut. Sebuah keyakinan yang dapat menjerumuskan kepada jurang kesyirikan karena dia meyakini bahwa manfaat dan madhorot bukan ditangan Allah subhanahu wata'ala. Dalam al quran Allah subhanahu wata'ala menyebutkan bahwa sesembahan-sesembahan selain Allah tidaklah mampu untuk menolak dari kemadhorotan sebagimana dalam firmanNya (yang artinya) : Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia, Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia itu adalah selalu tidak berterima kasih. (al isro' :67)
Dan Allah subhanahu wata'ala juga berfirman (yang artinya) : Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. (an nahl:53)
Maka dari ayat-ayat ini menunjukan bahwa manfaat dan madhorot itu hanya datang dari sisi Allah subhanahu wata'ala, dan tidak ada yang bisa memberikan manfaat dan madhorot kecuali dengan idzin dari Allah subhanahu wata'ala.

Dan Rosulullah shollallahu 'alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan bahwa tathoyyur atau bahasa lainnya thiyaroh adalah kesyirikan sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam ahmad (yang artinya) : “Thiyarah itu adalah kesyirikan.”

Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah subhanahu wata'ala, perlu kita ketahui bahwa tathoyyur digolongkan kedalam perbuatan syirik karena beberapa perkara :
1.    orang yang bertathoyyur berarti dia telah meninggalkan tawakkalnya kepada Allah subhanahu wata'ala, padahal tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang Allah subhanahu wata'ala perintahkan kepada hamba-hambaNya. Allah subhanahu wata'ala berfirman (yang artinya) : Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman." (al maidah : 23).  Dan segala sesuatu yang ada dilangit dan dibumi, semuanya dibawah pengatuaran dan kehendakNya, keselamatan, kesengan, musibah, dan bencana, semuanya datang dari Allah subhanahu wata'ala. Allah subhanahu wata'ala berfirman (yang artinya) : “Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada suatu makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai sepenuhnya).” (Hud : 56)
2.    seorang yang bertathoyyur berarti dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak ada hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika seorang menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan shofar atau bulan-bulan yang lainnya, maka ketahuilah bahwasanya pada hakekatnya bulan tersebut tidaklah bisa mendatangkan manfaat atau menolak madhorot, karena hanya Allah subhanahu wata'ala saja satu-satunya yang bisa mendatangkan manfaat atau menolak madhorot. Dan hanya Allah subhanahu wata'ala semata tempat bergantung semua makhlukNya, sebagaimana dalam firmanNya (yang artinya) : “Allah adalah satu-satunya tempat bergantung.” (Al Ikhlash: 2)

dan orang yang melakukan tathoyyur tidak terlepas dari dua keadaan :
1.    meninggalkan semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan
2.    melakukan apa yang dia niatkan namun diiringi dengan perasaan was-was dan khawatir.
Maka dari sini jelas bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada diri seseorang. Lalu bagaimana cara menghilangkan tathoyyur?
Abdullah bin mas'ud, salah seorang shahabat Rosulullah shollallahu 'alaihi wa sallam telah membimbing kita bahwa tathoyyur ini bisa dihilangkan dengan tawakkal kepada Allah subhanahu wata'ala. Tawakkal yang sempurna adalah dengan benar-benar menggantungkan diri kepada Allah subhanahu wata'ala dalam rangka mendapatkan manfaat atau menolak madhorot serta mengiringinya dengan usaha. Sehingga apapun yang menimpa dirinya, baik kesenangan atau kesedihan, musibah atau yang lainnya, maka dia yakin bahwa itu semua merupakan kehendak Allah subhanahu wata'ala yang penuh dengan keadilan dan hikmah.

Lembaga fatwa kerajaan Saudi Arabia yang diketuai oleh asy syaikh abdul aziz bin abdillah bin baaz pernah ditanya oleh seseorang dengan pertanyaan sebagai berikut :
Kami pernah mendengar bahwa sanya disana ada keyakinan-keyakinan bahwa bulan shafar tidak boleh padanya dilakukan pernikahan, khitan dan yang semisal hal itu. Maka kami berharap untuk diberi faidah tentang hal itu sesuai dengan tuntunan syariat islam, semoga Allah subhanahu wata'ala menjaga kalian.

Mereka menjawab : apa yang disebutkan dari tidak dilakukannya pernikahan atau khitan atau yang semisal hal itu dibulan shafar, ini merupakan salah satu bentuk tasya'um (anggapan sial) terhadap bulan ini, dan anggapan sial dengan bulan tertentu, atau hari tertentu, atau dengan burung atau yang semisalnya dari hewan-hewan ini tidak dibolehkan, karena telah diriwayatkan oleh al imam al bukhori dan al imam muslim dari abu hurairoh bahwa sanya Rosulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : tidak ada penyakit yang menular (dengan sendirinya), tidak ada thiyaroh, tidak ada kesialan dengan burung hantu dan tidak ada kesialan pada bulan shafar.
Dan anggapan sial pada bulan shafar ini juga termasuk dalam thiyaroh yang dilarang darinya, dan ini termasuk dari amalan jahiliyah yang sudah dibatalkan oleh islam. Dan Allah subhanahu wata'ala lah yang memberi taufiq, semoga Allah subhanahu wata'ala memberikan sholawat dan salam kepada nabi kita Muhammad dan keluarganya dan para shahabatnya. (fatwa lajnah daimah no: 10775)

Kemudian, perlu diketahui pula bahwa anggapan sial pada bulan shafar ini biasanya mereka warisi dari nenek moyang mereka. Maka jika mereka ditanya apa dalilnya bahwa bulan shafar adalah bulan sial, tentu mereka akan menjawab kami dapati hal itu dari orang tua kami,dan nenek moyang kami, dan itu sudah menjadi keyakinan yang turun temurun sejak dahulu.

Berdalil dengan perkataan orang tua atau nenek moyang bukanlah jawaban ilmiyah yang pantas untuk disampaikan oleh seorang muslim. Apalagi permasalahan ini menyangkut baik dan buruknya aqidah (keyakinan) seseorang. Maka hal ini haruslah dilihat dengan bimbingan al quran dan as sunnah, apakah hal itu benar atau tidak.

Sikap selalu mengekor dengan mengikuti apa kata orang tua dan tidak memperdulikan dalil – dalil syariat merupakan perbuatan yang tercela. Karena sikap ini menyerupai sikap orang-orang kafir quraisy ketika diseru oleh Rosulullah shollallahu 'alaihi wa sallam mereka mengatakan sebagaimana Allah subhanahu wata'ala hikayatkan dalam al quran (yang artinya) : Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka. (az zuhruf : 22)

Dan jawaban ini mirip pula dengan apa yang dikatakan oleh kaum nabi ibrohim ketika mereka diseru untuk meninggalkan peribadahan kepada selain Allah subhanahu wata'ala, Allah subhanahu wata'ala berfirman (yang artinya) : Mereka menjawab: "sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian." (asy syu'aro : 74)

Maka dari sini kita mengetahui bahwa anggapan sial pada bulan shafar  tidaklah ada dalilnya karena hal itu hanya berasal dari warisan kayakinan orang tua atau nenek moyang yang tidak dilandasi dengan dalil-dalil dari al quran atau as sunnah. Oleh karena itu tidak boleh bagi kita untuk mengikuti keyakinan mereka, dan yang hendaknya kita lakukan adalah kita mengikuti Rosulullah shollallahu 'alaihi wa sallam dalam menyikapi bulan shafar ini, yaitu dengan meyakini bahwa bulan shafar sama dengan bulan-bulan yang lainnya.

Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah subhanahu wata'ala, pada bulan shofar ini, ada sebagian masyarakat pula yang mereka melakukan berbagai amalan dalam rangka untuk melakukan tolak bala. Seperti hari Rabu membaca syahadat tiga kali, istighfar 300 kali, ayat kursi tujuh kali, surat Al-Fiil tujuh kali, selamatan kampung, dan sebagaiya

Ini adalah diantara amalan-amalan yang dilakukan sebagian orang dalam rangka menolak bala dibulan tersebut. Padahal amalan ini sama sekali tidak pernah dicontoh kan oleh Rosulullah shollallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau shollallahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan umatnya sebagaimana dalam sabdanya (yang artinya) : barangsiapa yang melakukan suatu amalan tanpa ada dasar perintahnya dari kami, maka amalan itu tertolak (HR.muslim dari aisyah).

Lembaga fatwa kerajaan Saudi Arabia yang diketuai oleh asy syaikh abdul aziz bin abdillah bin baaz pernah ditanya oleh seseorang dengan pertanyaan sebagai berikut :
Sebagian orang alim di negeri kami menyangka bahwa dalam agama Islam ada shalat nafilah (sunah) yang dikerjakan pada hari Rabu di akhir bulan Shafar dan di waktu dhuha, sebanyak empat rakaat dengan satu salam. Dalam setiap rakaat membaca al-Fatihah, surat al-Kautsar tujuh belas kali, surat al-ikhlas lima puluh kali, muawizatain (surat al-Falaq dan an-Naas) masing-masing dibaca sekali. Itu dilakukan di setiap rakaat. Setelah salam bersegera membaca surat yusuf : 21 (yang artinya) : Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.
Kemudian membaca jauharul kamal tiga kali dan diakhiri dengan surat ash shofat :180-182 (yang artinya) : Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Robb seluruh alam.
Kemudian menyedekahkan roti kepada orang miskin. Dan kekhususan ayat-ayat tersebut adalah untuk menolak bala yang turun pada hari Rabu di akhir bulan Shafar.
Mereka mengatakan bahwa setiap tahun turun 320.000 musibah, dan semuanya itu turun pada hari Rabu di akhir bulan Shafar. Sehingga hari itu akan menjadi hari yang paling sulit di tahun itu. Barangsiapa yang melaksanakan shalat sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dengan kemurahan-Nya, Allah akan menjaganya dari segala musibah yang turun pada hari itu
Tidak ada pengecualian bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Sehingga hendaknya meminum air (dari bekas usapan orang yang melaksanakannya) bagi siapa yang tidak mampu melaksanakan shalat tersebut, semisal anak-anak kecil. Apakah perbuatan itu benar?
Shalat nafilah (sunah) yang  disebutkan tidak ada asalnya dari al-Quran maupun Sunnah. Kami tidak pernah mendapatkan ada seorangpun salafussoleh umat ini (tiga generasi pertama Islam) melaksanakan shalat tersebut. Bahkan ia adalah perbuatan bid'ah yang mungkar. Rosulullah subhanahu wata'ala bersabda (yang artinya) : barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan itu tertolak.(HR.muslim)
Dan beliau juga bersabda (yang artinya) : barangsiapa yang membuat hal yang baru dalam agama ini apa yang tidak termasuk darinya, maka dia tertolak.(HR.muslim)
Maka barangsiapa yang menisbatkan shalat tersebut beserta apa-apa yang ada di dalamnya kepada Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam atau kepada salah seorang sahabat Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam maka dia telah membuat kedustaan yang besar, dia berhak menerima hukuman yang pantas dari Allah berupa hukuman bagi para pendusta.
Dan Allah subhanahu wata'ala lah yang memberi taufiq, semoga Allah subhanahu wata'ala memberikan sholawat dan salam kepada nabi kita Muhammad dan keluarganya dan para shahabatnya. (fatawa lajnah daimah no: 1619)

Maka sikap yang benar terhadap bulan safar ini adalah kita menyikapinya sebagaimana bulan-bulan yang lain. Tidak ada keistimewaan dalam bulan tersebut. Adapun anggapan-anggapan sial pada bulan tersebut, itu merupakan bentuk thiyaroh yang tidak diperbolehkan sehingga wajib bagi kita untuk menjauhinya. Dan tidak ada amalan khusus dibulan ini, wallahu A'lam.

penulis : Abu Ali Banyumas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar