AQIDAH

Mengagungkan Sunnah Buah Nyata Akidah yang Benar

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)

Islam Datang dalam Kondisi Asing
Kita telah mengetahui bahwa agama yang benar adalah Islam, yang telah disempurnakan oleh Allah l sekaligus penyempurna agama-agama sebelumnya. Sebagai agama penutup, Allah l telah menurunkannya melalui Nabi dan Rasul terakhir, Muhammad bin Abdullah n, di tengah-tengah rusaknya manusia, agama dan cara beragama mereka. Itulah alam jahiliah. Mereka menghalalkan, Islam datang mengharamkan. Begitu pula sebaliknya, mereka mengharamkan, Islam datang menghalalkan.
Islam datang kepada mereka sebagai sebuah agama asing yang jelas-jelas bertolak belakang dengan apa yang selama ini mereka anut dan peluk. Sekaligus sebagai ancaman kekuatan yang akan meruntuhkan singgasana kebatilan yang langsung dipelopori dan dipimpin oleh Iblis laknatullah ‘alaihi. Karena keasingan itulah, mereka menolak, menentang, dan memusuhinya.
Akhirnya, mereka menghimpun kekuatan, menyusun dan merancang tipudaya dan muslihat. Berkecamuklah pertarungan antara kebenaran dan kebatilan. Ketakutan dan kengerian menyelimuti kehidupan. Para pembela kebenaran pantang mundur untuk mencari kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, musuh-musuh kebenaran makin tersadar akan kekalahan dan kegagalan mereka. Hal ini terbukti dengan turunnya janji-janji Allah l untuk menyempurnakan kebenaran, wahyu yang diturunkan oleh Allah l sebagai simbol kerugian dan kegagalan mereka. Allah l juga membuktikan kegagalan mereka dengan masuk Islamnya sederetan hamba-Nya.
Allah l mengisyaratkan hal ini di banyak tempat dalam Al-Qur’an:
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipudaya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya. Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dia memenangkannya di atas segala agama, meskipun orang musyrik membenci.” (Ash-Shaf: 8—9)
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayanya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (At-Taubah: 32—33)
Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (Al-Isra: 81—82)
“Sebenarnya Kami melontarkan yang haq atas yang batil lalu yang haq itu menghancurkannya, maka dengan serta-merta yang batil itu lenyap, dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu menyifati (Allah l dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya).” (Al-Anbiya: 18)
Keasingan Islam akan terus berlangsung hingga datangnya keputusan Allah l dan diangkatnya agama ini dalam kondisi asing pula. Diriwayatkan dari Abu Hurairah z, bahwa Rasulullah n bersabda:
بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing pula. Maka berbahagialah bagi orang yang asing.” (HR. Muslim no. 208)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah n menjelaskan siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang dikatakan asing.
الَّذِينَ يَصْلُحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ
“(Mereka adalah) orang-orang yang baik ketika manusia ini rusak.” (Lihat Silsilah Ash-Shahihah no. 1273)
نَاسٌ صَالِحُونَ قَلِيْلٌ فِي نَاسٍ سُوْءٍ كَثِيرٍ، مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ
“(Mereka adalah) orang-orang shalih dalam jumlah yang sedikit di tengah-tengah manusia jahat yang sangat banyak. Orang yang memaksiati mereka lebih banyak daripada yang menaatinya.” (Lihat Silsilah Ash-Shahihah no. 1619)
Lebih lanjut, Ibnul Qayyim t menerangkan bentuk keasingan ini, “Seorang mukmin asing dalam urusan agamanya karena rusaknya agama manusia (saat itu). Dia asing dalam berpegang (dengan As-Sunnah) karena umat ini berpegang dengan kebid’ahan. Dia asing dalam keyakinannya karena rusaknya bentuk-bentuk keyakinan mereka. Dia juga asing dalam tata cara shalatnya karena jeleknya cara shalat manusia. Dia asing pula dalam jalan yang ditempuhnya karena sesatnya jalan manusia. Dia asing dalam mengelompokkan dirinya karena umat ini menyelisihinya dalam hal ini. Dia asing dalam pergaulannya karena dia bergaul dengan mereka dalam hal yang tidak diinginkan oleh hawa nafsu mereka. Kesimpulannya, dia asing dalam hal dunia dan akhiratnya.
Dia tidak menemukan seorang penolong pun dari umatnya. Dia tumbuh sebagai orang alim di tengah-tengah orang-orang jahil, pengikut As-Sunnah di tengah-tengah pengikut bid’ah, sebagai da’i kepada Allah l dan Rasul-Nya n di tengah-tengah para penyeru kepada hawa nafsu dan kebid’ahan, penyeru kepada yang ma’ruf di tengah kaum yang (mengubah) ma’ruf menjadi mungkar dan yang mungkar menjadi ma’ruf.” (Lihat Madarijus Salikin 3/199)
Islam adalah Sunnah dan Sunnah adalah Islam
‘Islam adalah sunnah dan sunnah adalah Islam’ merupakan ucapan ulama salaf umat ini. Ucapan ini menunjukkan bahwa Islam tidak bisa dilepaskan dari As-Sunnah, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, tatkala seseorang menghinakan As-Sunnah berarti dia telah menghinakan Islam, sedangkan yang memuliakannya berarti dia telah memuliakan Islam.
Al-Imam Al-Barbahari t mengatakan:
اعْلَمْ أَنَّ الْإِسْلَامَ هُوَ السُّنَّةُ وَالسُّنَّةَ هِيَ الْإِسْلَامُ، وَلَا يَقُومُ أَحَدُهُمَا إِلَّا بِالْآخَرِ، فَمِنَ السُّنَّةِ لُزُوْمُ الْجَمَاعَةِ وَمَنْ رَغِبَ غَيْرَ الْجَمَاعَةِ وَفَارَقَهَا فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلَامَ مِنْ عُنُقِهِ وَكَانَ ضَالًّا مُضِلًّا
“Ketahuilah bahwa Islam adalah As-Sunnah dan As-Sunnah adalah Islam, salah satunya tidak akan bisa tegak melainkan dengan yang lainnya. Termasuk As-Sunnah adalah konsekuen dengan Al-Jama’ah. Barang siapa mencari yang selain Al-Jama’ah serta memisahkan diri darinya, sungguh dia telah mencabut kalung keislamannya dari lehernya, serta sesat dan menyesatkan.”
As-Sunnah yang kita maksudkan di sini bukan sunnah yang merupakan sinonim (persamaan kata) dari kata mustahab, mandub, yang merupakan lawan makruh. Bukan pula yang kita maksudkan di sini dengan kata sunnah adalah pendamping Al-Qur’an seperti ucapan mereka: “Al-Qur’an dan As-Sunnah”. Tetapi, yang kita maksudkan di sini adalah petunjuk Rasulullah n dan jalan yang beliau n tempuh. Oleh karena itu, As-Sunnah menurut definisi ini mencakup hal yang wajib, yang sunnah, dan segala bentuk keyakinan, ibadah, muamalah, serta akhlak.
Ulama salaf mengatakan, “Yang dimaksud dengan As-Sunnah adalah beramal dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengikuti jalan salafus saleh dan mengikuti atsar.” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah 2/ 248)
Dengan demikian, benarlah jika kita mengatakan bahwa Islam adalah As-Sunnah dan As-Sunnah adalah Islam dengan makna As-Sunnah di atas.
Mengagungkan As-Sunnah adalah Mengagungkan Islam
Kita telah meyakini bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan wahyu dari Allah l yang menjadi landasan dalam beragama. Seseorang yang berakidah bersih akan menjunjung wahyu tersebut setinggi-tingginya. Dia akan meletakkannya pada tempat yang tinggi di dalam hatinya, karena dia mengetahui bahwa Allah l akan mengangkat derajat seseorang sesuai dengan kadar berpegang teguhnya dia dengan tuntunan tersebut. Rasulullah n sendiri telah bersabda:
إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
“Sesungguhnya Allah telah mengangkat suatu kaum dengan kitab ini dan telah merendahkan suatu kaum dengan kitab ini.” (HR. Muslim no. 1353 dari ‘Umar ibnul Khaththab z)
Mereka mengetahui bahwa mengagungkan wahyu Allah l merupakan kewajiban bagi setiap muslim sebagaimana dijelaskan dalam banyak dalil. Di antaranya:
“Dan apa yang datang dari Rasul kepadamu, maka ambillah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (Al-Hasyr: 7)
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)
“Barang siapa menaati Rasul itu sesungguhnya ia telah menaati Allah dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (An-Nisa: 80)
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa: 65)
Bentuk pengagungan terhadap sunnah Rasulullah n banyak sekali. Di antaranya adalah mempelajari, mengamalkan segala perintah dan menjauhi segala larangan beliau n, membela beliau n dari segala celaan dan hinaan, juga menampakkan syiar beliau n dan menyebarluaskannya. (Masa’il Furu’ fi Masa’il ‘Aqidah, 1/36)
Jika kita mencoba menggali dan membaca pengagungan terhadap sunnah yang dilakukan salaf umat ini niscaya akan tumbuh sifat kecemburuan pada diri kita sebagaimana yang ada pada diri mereka. Demikianlah setiap generasi ulama Islam. Mereka mengingkari dengan keras segala bentuk penyelisihan terhadap sunnah Rasulullah n, sebagaimana Ibnu Wadhdhah, Ath-Thurthusyi, Abu Syamah, dan lainnya telah menuliskannya dalam karya-karya besar mereka. Al-Imam Sufyan ats-Tsauri t berkata, “Jika kamu berada di Syam, sebut-sebutlah manaqib (keutamaan) ‘Ali. Jika kamu berada di Kufah, sebut-sebutlah manaqib Abu Bakr dan ‘Umar.”
Keteladanan Ahli Tauhid dalam Mengagungkan Sunnah Rasulullah n
Mereka adalah para mujahid agama dan telah meninggal di atas keistiqamahan dalam membela agama ini. Mereka adalah para ulama, generasi terbaik umat Rasulullah n. Mereka menjadikan sabda Rasulullah n:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak dikatakan sempurna iman seseorang hingga aku lebih ia cintai daripada ayahnya, anaknya, dan manusia semuanya.” (HR. Al-Bukhari no. 14 dan Muslim no. 62 dari sahabat Anas bin Malik z)
sebagai pijakan mereka dalam melangkah. Mereka begitu taat dan mencintai beliau n. Sunnah, ucapan, dan petunjuk beliau n lebih mereka dahulukan daripada segala sesuatu. Ucapan beliau n di hadapan mereka menjadi yang paling dikedepankan daripada ucapan manusia mana pun. Mereka membela sunnah dan melindunginya.
Apabila mereka melihat seseorang menentang sunnah Rasulullah n, tentu mereka akan mencela dan memperingatkan orang lain darinya. Mereka akan meninggalkannya, tidak berbicara dengannya, dan terkadang tidak mau tinggal satu atap bersamanya. Mereka menjaga sunnah Rasulullah n dari tipudaya orang-orang jahat dan musuh-musuh sunnah. Mereka tampil menegakkan nasihat di jalannya. Mereka adalah generasi sahabat Rasulullah n.
Setelah mereka meninggal dunia, bukan berarti perjuangan menegakkan sunnah itu berakhir. Setelah mereka, datang generasi tabi’in yang berjalan di atas jalan mereka dalam membela sunnah Rasulullah n.  Inilah sederetan dari mereka.
Abu Bakr ash-Shiddiq z
Beliau z berkata:
لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُولُ اللهِ n يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ وَإِنِّي لَأَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيغَ
“Tidaklah saya meninggalkan sesuatu pun yang telah dikerjakan oleh Rasulullah n, melainkan saya mengerjakannya juga. Jika saya tidak melakukannya, saya khawatir akan menyimpang.” (Al-Ibanah, Ibnu Baththah 1/246)
Abdullah bin Abbas c
Beliau c berkata:
يُوشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيْكُمْ حِجِارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ، أَقُولُ لَكُمْ: قَال النَّبِيُّ n، وَتَقُولُونَ: قاَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ!؟
“Aku khawatir turun hujan batu dari langit terhadap kalian. Aku mengatakan, ‘Rasulullah n bersabda demikian’, dan kalian menyangkalnya dengan mengatakan, ‘Abu Bakr berkata demikian dan ‘Umar berkata demikian’?” (Majmu’ Fatawa 26/50)
Abdullah bin Umar c
Diriwayatkan oleh putranya, Salim, bahwa Ibnu Umar berkata, “Aku telah mendengar Rasulullah n bersabda: ‘Jangan kalian larang istri-istri kalian ke masjid bila mereka meminta izin’.”
Salim berkata, “Tiba-tiba Bilal bin Abdullah berkata, ‘Saya, demi Allah, akan melarang mereka’.”
Salim melanjutkan, “Ibnu Umar lalu menghadap kepada Bilal dan mencercanya dengan cercaan yang sangat keras. Saya belum pernah mendengar beliau mencerca seperti itu sama sekali. Beliau berkata, ‘Saya memberitahu kamu dari Rasulullah n, lalu kamu mengatakan, Saya akan melarang mereka’?” (HR. Muslim no. 135)
‘Ubadah bin Ash-Shamit z
Diceritakan oleh Abu Makhariq, ‘Ubadah menyebutkan sebuah riwayat dari Rasulullah n bahwa beliau n melarang menukar dua dirham dengan satu dirham. Lalu seseorang mengatakan, “Saya berpendapat tidak mengapa, selama yadan bi yadin (secara kontan).” ‘Ubadah serta-merta berkata: “Saya mengatakan, ‘Rasulullah n bersabda demikian’, dan engkau mengatakan, ‘Saya berpendapat tidak mengapa!’? Demi Allah, jangan sekali-kali aku bersamamu dalam satu atap.” (HR. Ibnu Majah dan Ad-Darimi, disahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)
Abu Darda’ z
Diceritakan oleh ‘Atha’ bin Yasar, seseorang menjual satu pecahan emas atau perak dengan sesuatu yang sejenis namun tidak sama timbangannya. Abu Darda’ lalu berkata kepadanya, “Aku mendengar Rasulullah n melarang cara seperti ini, kecuali bila timbangannya sama.” Orang tersebut menjawab, “Saya berpendapat hal ini tidak mengapa.” Abu Darda’ kemudian berkata lagi, “Siapa yang  akan mencarikan alasan untukku bagi fulan? Aku menyampaikan kepadanya sabda Rasulullah n, lalu dia memberitahukanku tentang pendapatnya. Saya tidak akan menginjak daerah yang kamu berada padanya.” (Al-Ibanah, Ibnu Baththah hlm. 94)
Abu Sa’id al-Khudri z
Al-A’raj menceritakan bahwa dia mendengar Abu Sa’id al-Khudri z berkata kepada seseorang, “Apakah engkau mendengarku bila aku sampaikan (hadits) dari Rasulullah n, beliau n bersabda, ‘Jangan kalian menukar dinar dengan dinar, dan dirham dengan dirham, kecuali harus sama, serta jangan kalian menjualnya dengan tidak kontan,’ lalu engkau berfatwa seperti ini??! Demi Allah, jangan sampai ada yang menaungiku bersamamu kecuali masjid.” (Al-Ibanah, Ibnu Baththah hlm. 95)
Muhammad bin Sirin t
Qatadah t menceritakan bahwa Ibnu Sirin t menyampaikan hadits Nabi n kepada seseorang. Orang tersebut lalu berkata, “Fulan berkata demikian dan demikian.” Ibnu Sirin lalu berkata, “Saya menyampaikan dari Rasulullah n, lalu engkau mengatakan fulan berkata demikian demikian??! Saya tidak akan mengajakmu berbicara selama-lamanya.” (Sunan Ad-Darimi no. 441)
Umar bin Abdul Aziz t
Beliau t berkata:
لَا رَأْيَ لِأَحَدٍ مَعَ سُنَّةٍ سَنَّهَا رَسُولُ اللهِ n
“Tidak ada hukum akal bagi seseorang di hadapan sunnah yang datang dari Rasulullah n.” (Al-Ibanah 1/246)
Abu Qilabah t
إِذَا حَدَّثْتَ الرَّجُلَ بِالسُّنَّةِ فَقَالَ: دَعْنَا مِنْ هَذَا وَهَاتِ كِتَابَ اللهِ؛ فَاعْلَمْ أَنَّهُ ضَالٌّ
“Apabila kamu menyampaikan hadits Rasulullah n kepada seseorang, lalu dia mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari yang seperti ini. Datangkan kepadaku kitab Allah l,’ ketahuilah bahwa dia orang yang sesat.” (I’lamul Muwaqqi’in 2/282)
Al-Imam Asy-Syafi’i t
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةُ رَسُولِ اللهِ n لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslimin telah bersepakat, barang siapa yang sudah jelas baginya sunnah Rasulullah n, tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena ucapan seseorang.” (I’lamul Muwaqqi’in 2/282)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal t
مَنْ رَدَّ حَدِيثَ النَّبِيِّ n فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ
“Barang siapa menentang satu hadits Rasulullah n, dia berada di tepi kehancuran.” (Thabaqat Hanabilah 2/15, Al-Ibanah 1/ 260)
Al-Imam Al-Barbahari t
وَإِذَا سَمِعْتَ الرَّجُلَ يَطْعَنُ فِي الْآثَارِ أَوْ يُرِيدُ غَيْرَ الْآثَارِ فَاتَّهِمْهُ عَلَى الْإِسْلَامِ، وَلَا تَشُكَّ أَنَّهُ صَاحِبُ هَوًى مُبْتَدِعٌ
“Apabila engkau mendengar seseorang mencela hadits, atau menginginkan yang selain hadits, curigailah keislamannya. Janganlah engkau ragu bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu dan mubtadi’.” (Syarhus Sunnah hlm. 51)
Abul Qasim al-Ashbahani t
قَالَ أَهْلُ السُّنَّةِ مِنَ السَّلَفِ: إِذَا طَعَنَ الرَّجُلُ عَلَى الْآثَارِ يَنْبَغِي أَنْ يُتَّهَمَ عَلَى الْإِسْلاَمِ
Ahlus Sunnah dari kalangan salaf mengatakan, “Apabila seseorang mencela sunnah Rasulullah n, pantas untuk dicurigai keislamannya.” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah, 2/428)
Dari mana sikap dan ucapan para imam tersebut kalau bukan buah dari ketauhidan yang benar kepada Allah l? Oleh karena itu, yang akan mengagungkan dan mengamalkan sunnah Rasulullah n adalah orang yang memiliki akidah yang benar dan kokoh, karena konsekuensi dari keyakinan yang benar adalah menjunjug tinggi syiar-syiar Allah l, baik lahir maupun batin. Dengan kata lain, orang yang benar akidahnya, lahiriahnya tidak akan menyelisihi batinnya. Bila hal ini terjadi, perlu diragukan kemurnian akidahnya.
Ucapan mereka menggambarkan bentuk pengagungan yang tinggi terhadap syariat Rasulullah n. Kita wajib meneladani mereka dalam hal ini. Kemuliaan hidup, kemenangan, kebahagiaan dunia dan akhirat, ada dalam kebersamaan dengan mereka.
Wallahu a‘lam.


Dukun dan Tukang Ramal Budak Syaithan
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)

Sangatlah mengherankan, ternyata dari kalangan manusia ini ada yang menjadi murid sekaligus kaki tangan setan, siap menuruti segala petuahnya serta siap menjadi hamba dan budaknya. Dengan sikap ini, dia lancarkan segala manuver penyesatan yang dilakukan oleh musuh Allah l dan musuh kaum mukminin, pemimpin kejahatan, iblis la’natullah. Mereka adalah dukun dan tukang ramal.
Melalui murid, sang guru mendapatkan banyak peluang untuk melakukan penipuan dan penyesatan. Bahkan sang guru telah menciptakan kondisi yang seolah-olah umat ini tergantung dan tidak bisa terlepas dari dukun dan tukang ramal. Rumah panggung yang sudah reot dipadati pengunjung dari berbagai penjuru, yang semuanya ingin mengadukan nasib hidupnya. Padahal si dukun atau tukang ramal itu sendiri tidak mengetahui nasib dirinya. Karena jika dia mengetahui nasib hidupnya niscaya dia akan bisa mengubah nasibnya sendiri serta istri dan anaknya. Kedustaan menjadi senjatanya yang paling ampuh. Kekufuran menjadi baju dan selimutnya. Ilmu ghaib menjadi sandaran petuahnya. Padahal Allah l mengatakan:
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Al-Mahfuzh).” (Al-An’am: 59)
As-Sa’di t berkata: “Ayat yang mulia ini merupakan ayat yang paling besar dalam merincikan luasnya ilmu Allah l, yang mencakup seluruh perkara ghaib. Allah l mengajarkan sebagiannya kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki. Namun kebanyakan perkara ghaib itu disembunyikan ilmunya dari malaikat yang dekat maupun para rasul yang diutus, lebih-lebih dari selain mereka. Allah l mengetahui segala yang ada di daratan berupa berbagai macam hewan, pohon, pasir, kerikil, dan debu. Allah l juga mengetahui segala yang ada di lautan berupa berbagai macam hewan laut, segala macam tambang, ikan dan segala yang terkandung di dalamnya serta air yang meliputinya…
Jika semua makhluk dari yang pertama sampai yang terakhir, berkumpul untuk mengetahui sebagian sifat Allah l, niscaya mereka tidak akan sanggup dan tidak akan mencapainya. Maka Maha Suci Allah Rabb yang Mulia, Maha Luas, Maha mengetahui, Maha terpuji, Maha Mulia, dan Maha menyaksikan segala sesuatu, tidak ada sesembahan selain-Nya. Tidak ada seorang pun yang sanggup memuji-Nya. Dia adalah sebagaimana Dia puji Diri-Nya, dan di atas segala pujian hamba-hamba-Nya. Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu Allah l mencakup segala sesuatu dan bahwa kitab-Nya (Lauh Al-Mahfuzh) yang tertulis mencakup segala kejadian.” (Tafsir As-Sa’di, 1/259)
“Katakanlah: ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman’.” (Al-A’raf: 188)
Ibnu Katsir t berkata: “Allah l memerintahkan kepada beliau agar menyerahkan semua urusannya kepada Allah l. Juga memerintahkan agar beliau memberitakan tentang dirinya bahwa dia tidak mengetahui perkara ghaib. Tidaklah beliau mengetahui perkara yang ghaib melainkan apa yang telah diberitahukan oleh Allah l, sebagaimana firman Allah l:
“(Dia adalah Dzat) yang mengetahui yang ghaib. Maka dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya. Maka sesungguhnya dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (Al-Jin: 26-27) [Tafsir Ibnu Katsir, 3/523]
Jika imam para nabi dan rasul, Nabi kita Muhammad n tidak mengetahui perkara ghaib, apakah kemudian selain beliau patut untuk mengilmuinya dan menjadikannya sebagai sandaran petuah? Apakah selain beliau n bisa menguasainya sementara beliau n tidak? Tentu ini adalah bentuk kedangkalan akal dan kerusakan fitrah.

Mengenal Lebih Dekat Dukun dan Arraf
‘Arraf merupakan bentuk mubalaghah (penyangatan) dari kata ‘arif. Ada sebagian ulama mengatakan bahwa ‘arraf itu sama dengan kahin (dukun) yaitu orang yang memberitahukan tentang sesuatu yang akan datang. Sebagian yang lain mengatakan ‘arraf adalah nama umum dari kata kahin, dukun, munajjim, rammal, dan selainnya, yaitu orang yang berbicara tentang sesuatu yang ghaib dengan tanda-tanda yang dia pergunakan.
Di antara alat yang dipergunakan untuk mengetahui perkara yang ghaib adalah: pertama, melalui kasyf (baca: terawangan); dan kedua, melalui setan. Al-Imam Al-Baghawi t mengatakan: “Arraf adalah orang yang mengaku mengerti suatu benda atau barang yang dicuri, tempat hilangnya, atau selainnya, dengan tanda-tanda tertentu.”
Kahin (dukun) adalah orang yang memberitahukan tentang terjadinya suatu perkara ghaib pada waktu yang akan datang. Atau dengan kata lain, orang yang memberitahukan apa yang ada di dalam hati. (Lihat Majmu’ Fatawa, 35/173)
Walhasil, ‘arraf dan kahin adalah orang yang mengambil ilmu dari mustariqus sama’ (para pencuri berita dari langit) yaitu para setan. Rasulullah n telah menceritakan dalam sebuah hadits tentang cara pengajaran ilmu perdukunan oleh setan:
إِذَا قَضَى اللهُ الْأَمْرَ فِي السَّمَاءِ ضَرَبَتِ الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خضَعَانًا لِقَوْلِهِ كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا لِلَّذِي قَالَ: الْحَقَّ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيْرُ. فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُ السَّمْعَ وَمُسْتَرِقُ السَّمْعِ هَكَذَا بَعْضَهُ فَوْقَ بَعْضٍ –وَوَصَفَ سُفْيَانُ بِكَفِّهِ فَحَرَّفَهَا وَبَدَّدَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ- فَيَسْمَعُ الْكَلِمَةَ فَيُلْقِيهَا إِلَى مَنْ تَحْتَهُ ثُمَّ يُلْقِيهَا الْآخَرُ إِلَى مَنْ تَحْتَهُ حَتَّى يُلْقِيهَا عَلَى لِسَانِ السَّاحِرِ أَوِ الْكَاهِنِ فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ قَبْلَ أَنْ يُلْقِيَهَا وَرُبَّمَا أَلْقَاهَا قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُ فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كِذْبَةٍ فَيُقَالُ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ لَنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذا كَذَا وَكَذَا؟ فَيُصَدَّقُ بِتِلْكَ الْكَلِمَةِ الَّتِي سُمِعَ مِنَ السَّمَاءِ
Apabila Allah memutuskan sebuah urusan di langit, tertunduklah seluruh malaikat karena takutnya terhadap firman Allah l seakan-akan suara rantai tergerus di atas batu. Tatkala tersadar, mereka berkata: “Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?” Mereka menjawab: “Kebenaran, dan dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.” Lalu berita tersebut dicuri oleh para pencuri pendengaran (setan). Demikian sebagian mereka di atas sebagian yang lain –Sufyan menggambarkan tumpang tindihnya mereka dengan telapak tangan beliau lalu menjarakkan antara jari jemarinya–. (Pencuri berita) itu mendengar kalimat yang disampaikan, lalu menyampaikannya kepada yang di bawahnya. Yang di bawahnya menyampaikannya kepada yang di bawahnya lagi, sampai dia menyampaikannya ke lisan tukang sihir atau dukun. Terkadang mereka terkena bintang pelempar sebelum dia menyampaikannya, namun terkadang dia bisa menyampaikan berita tersebut sebelum terkena bintang tersebut. Dia menyisipkan seratus kedustaan bersama satu berita yang benar itu. Kemudian petuah dukun yang salah dikomentari: “Bukankah dia telah mengatakan demikian pada hari demikian?” Dia dibenarkan dengan kalimat yang didengarnya dari langit itu.” (HR. Al-Bukhari no. 4522 dari sahabat Abu Hurairah z)
Rasulullah n menandaskan sebuah kedok dan sekaligus topeng mereka yang dipergunakan untuk menipu umat, yaitu satu kali benar dan seratus kali berdusta. Dengan satu kali benar itu, dia melarismaniskan seratus kedustaan yang diciptakannya. Dan kedustaannya itu tidak dibenarkan melainkan karena satu kalimat tersebut. (Lihat Tafsir As-Sa’di, 1/700 dan Al-Qaulus Sadid hal. 71)
Inilah sesungguhnya tujuan setan mencuri kebenaran dari langit, yaitu menipu manusia dan mencampurkan kebenaran dengan kebatilan serta mengaburkan kebenaran tersebut dengan kebatilan. Jika mereka membawa kebatilan yang murni, niscaya tidak ada seorang pun membenarkannya. Namun jika mereka mencampurkan kebatilan itu dengan sedikit kebenaran, akan menjadi fitnah (ujian) bagi orang yang lemah iman dan akalnya. (Lihat I’anatul Mustafid bi Syarh Kitab At-Tauhid 1/408)
Ada tiga keadaan terkait dengan guru-guru dukun dan tukang ramal, yaitu para pencuri kebenaran dari langit:
Pertama: Sebelum diutusnya Rasulullah n, jumlah mereka banyak sekali.
Kedua: Setelah diutusnya Rasulullah n. Dalam kondisi ini, tidak pernah terjadi pencurian berita dari langit. Kalaupun terjadi, itu jarang dan bukan dalam hal wahyu Allah l.
Ketiga: Setelah beliau meninggal dunia. Kondisinya kembali kepada kondisi pertama, namun lebih sedikit dari kondisi sebelum diutusnya Rasulullah n. (Tamhid Syarah Kitab At-Tauhid, 1/447)

Benarkah Dukun dan Tukang Ramal Mengetahui Nasib alias Hal Ghaib?
Permasalahan perkara ghaib, ilmunya hanya di tangan Allah l semata. Tidak ada sedikit pun ilmunya di tangan manusia. Jika ada orang yang mengaku mengerti ilmu ghaib berarti dia telah berdusta dan telah melakukan kekafiran yang nyata. Allah l berfirman:
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri.” (Al-An’am: 59)
“Katakanlah: ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (An-Naml: 65)
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.” (Luqman: 34)
“(Dia adalah Dzat) yang mengetahui yang ghaib. maka dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya.  Maka sesungguhnya dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. Supaya dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Rabbnya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan dia menghitung segala sesuatu satu persatu.” (Al-Jin: 26-28)
Masih banyak lagi dalil yang menjelaskan masalah ini, baik di dalam Al-Qur’an atau di dalam hadits.
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Ilmu ghaib … sebuah sifat yang khusus bagi Allah l, dan semua yang diberitakan oleh Rasulullah n tentang perkara ghaib adalah pemberitahuan Allah l, bukan semata-mata dari beliau.” (Fathul Bari, 9/203)
Rasulullah n mengingkari ketika diri beliau dianggap mengetahui perkara ghaib, sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari t dari Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra x. Dia berkata: “Tatkala Rasulullah walimatul ‘urs denganku, beliau duduk seperti duduknya dirimu (maksudnya perawi, red.) di hadapanku. Mulailah budak-budak wanita memukul (duff/semacam rebana) dan berdendang tentang ayah-ayah mereka yang terbunuh pada perang Badr. Di saat itu, salah seorang mereka berkata: ‘Dan di tengah kami ada seorang Nabi, yang mengetahui perkara esok hari.’ Beliau lalu berkata: ‘Tinggalkan ucapan ini! Katakanlah seperti ucapan yang telah engkau ucapkan’.”
Hadits ini menunjukkan, tidak benar jika seseorang berkeyakinan bahwa seorang nabi, wali, imam, atau syahid, mengetahui perkara ghaib. Sampai pun di hadapan Rasulullah n, keyakinan ini tidak boleh terjadi.” (Risalatut Tauhid, 1/77)
Pembaca yang budiman. Jika Rasulullah n sebagai imam para nabi dan rasul tidak mengerti perkara ghaib, apakah masuk akal jika selain mereka dapat mengetahuinya? Dari sini jelaslah bahwa pengakuan mengetahui perkara ghaib adalah sebuah kedustaan yang nyata. Tampilnya para dukun dan tukang ramal yang mengaku mengerti hal itu merupakan dajjal.

Bolehkah Mendatangi Dukun dan Tukang Ramal?
Telah jelas dalam pembahasan di depan tentang hakikat dukun, siapa dia dan bagaimana kiprahnya di tengah umat sebagai “jagoan dalam berpetuah” tentang nasib seseorang. Lalu bagaimanakah hukum mendatangi mereka dan bertanya dalam berbagai persoalan kelangsungan hidup, susah atau senang, beruntung atau gagal, celaka atau selamat, dan sebagainya? Telah dibahas oleh para ulama hukum mendatangi mereka:
Pertama: Mendatanginya untuk bertanya tentang sesuatu tanpa membenarkan apa yang dikatakan. Ini termasuk sesuatu yang haram dalam agama. Ancamannya, tidak akan diterima shalatnya 40 malam, sebagaimana dalam hadits:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa mendatangi tukang ramal, lalu dia bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka tidak akan diterima shalatnya 40 malam.” (HR. Muslim no. 2230 dari istri Rasulullah n)
Kedua: Mendatangi mereka untuk bertanya kepadanya dan dia membenarkannya, maka dia telah kufur terhadap apa yang telah dibawa oleh Rasulullah n. Ini berdasarkan hadits Rasulullah n:
مَنْ أَتَى كَاهِنًا –قَالَ مُوسَى فِي حَدِيثِهِ: فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ؛ ثُمَّ اتَّفَقَا- أَوْ أَتَى امْرَأَةً -قَالَ مُسَدَّدٌ: امْرَأَتَهُ حَائِضًا- أَوْ أَتَى امْرَأَةً –قَالَ مُسَدَّدٌ: امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا- فَقَدْ بَرِئَ مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ عَلَى مُحَمَّدٌ n
“Barangsiapa mendatangi dukun –Musa (perawi hadits) berkata: lalu dia membenarkan petuah dukun tersebut; kemudian mereka berdua sepakat dalam periwayatannya– atau mendatangi istrinya –Musaddad berkata: istrinya dalam keadaan haid– atau dia mendatangi istrinya –Musaddad berkata: istrinya pada duburnya– maka sungguh dia telah kafir terhadap apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Muhammad.” (HR. Abu Dawud no. 9304 dari sahabat Abu Hurairah z dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Ketiga: Mendatangi mereka untuk mengujinya apakah dia benar atau dusta sekaligus untuk membongkar kedoknya, memperlihatkan kelemahannya. Tentunya dia memiliki ilmu untuk menilai benar atau dusta. Ini dibolehkan, bahkan terkadang hukumnya wajib, sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari (no. 1289) dan Muslim (no. 2930) bahwa Nabi n bertanya kepada Ibnu Shayyad: “Apa yang telah datang kepadamu?” “Telah datang kepadaku orang yang jujur dan pendusta.” Rasulullah n bertanya: “Apa yang kamu lihat?” Dia berkata: “Aku melihat Arsy di atas air.” Beliau bertanya: “Sesungguhnya aku telah merahasiakan sesuatu apakah dia?” Dia berkata: “Dukh, dukh (asap).” Rasulullah n berkata: “Diamlah. Engkau tidak memiliki kemampuan melainkan apa yang telah diberikan oleh Allah kepadamu. Sesungguhnya engkau tidak lebih dari dukun seperti teman-temanmu.” (Lihat Majmu’ Fatawa, 4/186 dan Al-Qaul Al-Mufid, 1/397)

Jaringan Dukun dan Tukang Ramal serta Silsilah Ilmu Mereka
Telah lewat bahwa perdukunan dan peramalan itu sebuah kekufuran. Untuk mengerti berita tentang orang yang datang bertanya dan tentang barangnya yang dicuri, siapa yang mencurinya, barangnya yang hilang dan di mana tempat hilangnya, di sinilah letaknya kerja sama yang baik antara setan di satu pihak dengan dukun atau tukang ramal di pihak yang lain. Muhammad Hamid Al-Faqi berkata dalam komentarnya dalam kitab Fathul Majid (hal. 353): “Adanya hubungan intim antara qarin dari jin dengan qarin dari manusia, keduanya saling menyampaikan dan mencari berita yang disukai. Qarin dukun dan tukang ramal ini mencari berita dari qarin orang yang datang bertanya, karena setiap manusia memiliki qarin dari kalangan setan, sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lalu qarin orang yang bertanya itu memberitahukan kepada qarin dukun atau tukang ramal tersebut segala sesuatu yang merupakan perihal kebiasaan orang yang datang bertanya, dan perihal di rumahnya.”
Orang-orang jahil menduga bahwa ini terjadi dari buah keshalihan atau ketakwaan dan karamah. Dengan kebaikannya, dia telah membuka tabir tentang semuanya. Ini termasuk kesesatan yang paling tinggi dan kehinaan yang paling rendah, meskipun banyak orang telah tertipu bahkan orang yang dikatakan berilmu dan baik.”
Wallahu a‘lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar