Minggu, 11 Maret 2012

Mengingat hakekat kehidupan dunia

Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam telah menjelaskan dalam hadits-hadits beliau tentang dunia ini, diantaranya adalah sabda beliau:
عن سهل بن سعد قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لو كانت الدنيا تعدل عند الله جناح بعوضة ما سقى كافرا من شربة ماء
(artinya) : kalau seandainya dunia ini bernilai seberat sayap nyamuk disisi Allah subhanahu wata'ala, niscaya orang kafir tidak akan diberi minum seteguk airpun. (HR. At tirmidzi no. 2320 dari sah bin sa’d)


عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ بِالسُّوقِ دَاخِلاً مِنْ بَعْضِ الْعَالِيَةِ وَالنَّاسُ كَنَفَتَهُ فَمَرَّ بِجَدْىٍ أَسَكَّ مَيِّتٍ فَتَنَاوَلَهُ فَأَخَذَ بِأُذُنِهِ ثُمَّ قَالَ « أَيُّكُمْ يُحِبُّ أَنَّ هَذَا لَهُ بِدِرْهَمٍ ». فَقَالُوا مَا نُحِبُّ أَنَّهُ لَنَا بِشَىْءٍ وَمَا نَصْنَعُ بِهِ قَالَ « أَتُحِبُّونَ أَنَّهُ لَكُمْ ». قَالُوا وَاللَّهِ لَوْ كَانَ حَيًّا كَانَ عَيْبًا فِيهِ لأَنَّهُ أَسَكُّ فَكَيْفَ وَهُوَ مَيِّتٌ فَقَالَ « فَوَاللَّهِ لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ هَذَا عَلَيْكُمْ ».
Dalam riwayat yang lain, beliau shollallahu 'alaihi wasallam pernah melewati suatu pasar. Lalu beliau mendapati bangkai anak kambing. Lalu beliau mengatakan : siapa diantara kalian yang ingin memiliki anak kambing ini dengan membayar seharga satu dirham? Mereka menjawab: kami tidak ingin memilikinya dengan harga semurah apapun. Apa yang bisa kami perbuat dengan bangkai ini? Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam lalu berkata : apakah kalian suka jika bangkai anak kambing ini menjadi milik kalian? “Demi Allah, kalau seandainya anak kambing ini masih hidup, tetaplah dia cacat, apalagi dia telah menjadi bangkai, jawab mereka. Lalu beliau shollallahu 'alaihi wasallam bersabda : demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada hinanya bangkai ini bagi kalian. (HR. muslim no.7607 dari jabir bin abdillah).

Waktu pun berjalan tiada henti. Umur seorang semakin bertambah. Kehidupan dunia yang sedang dia jalani, cepat atau lambat akan dia tinggalkan. Itulah sebenarnya hakekat kehidupan dunia. Dunia yang kita pijak ini, merupakan tempat tinggal sementara.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، قَالَ : أَخَذَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِمَنْكِبِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ ، أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ.
Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam pernah memegang pundak abdullah bin umar, lalu beliau mengatakan (artinya) : jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau orang yang sedang lewat (di suatu tempat). Dan abdullah bin umar beliau mengatakan : apabila engkau berada di waktu sore, maka janganlah engkau menunggu waktu pagi. Dan jika engkau berada di waktu pagi maka jangan engkau menunggu waktu sore. Gunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, dan manfaatkanlah kehidupanmu sebelum datang kematianmu. (HR. Al Bukhori no. 6416 dari abdullah bin umar)

Berkata ibnu hajar dalam fathul bari’ (11/234) : dan berkata An Nawawi makna hadits ini adalah jangan engaku condong kepada dunia, dan jangan engkau menjadikannya sebagai tanah air, dan jangan terbetik dalam jiwamu untuk kamu tinggal (selamanya) padanya. Dan janganlah engkau memiliki ketergantungan padanya, sebagaimana orang yang asing tidak memiliki ketergantungan kepada selain tanah airnya.

Dan berkata selainnya : (makna) orang yang melewati jalan adalah orang yang sedang melintas pada suatu jalan karena sedang mencari tanah airnya. Maka manusia di dunia ini seperti seorang budak yang diutus oleh tuannya untuk suatu keperluan ke selain negaranya. Maka hendaklah dia bersegera melakukan atau menyelesaikan keperluannya yang mana dia diperintah dengannya, kemudian dia kembali ke tanah airnya. Dan dia tidak memiliki ketergantungan dengan sesuatu selain yang dia diperintahkan dengannya.

Ada juga yang menjelaskan : yang dimaksud (dalam hadits) adalah hendaklah seorang mukmin mendudukkan dirinya di dunia ini seperti kedudukan seorang yang asing. Maka janganlah dia menggantungkan hatinya dengan sesuatu dari negaranya yang asing bahkan denganlah dia menggantungkan hatinya dengan tanah airnya yang dia akan kembali kepadanya. Dan dia menjadikan tinggalnya dia di dunia adalah dalam rangka untuk menyelesaikan kebutuhannya dan mempersiapkan untuk kembali ke tanah airnya. Dan inilah keadaannya orang yang asing atau seperti seorang musafir yang dia tidak tetap di suatu tempat tertentu, sehingga dia senantiasa berjalan menuju tempat tinggalnya (yang sebenarnya).

Apabila seorang memahami makna hadits ini, maka tentunya dia tidak akan terlalu berambisi terhadap dunia. Dia akan memperbanyak amalan-amalan ibadah untuk dia persiapkan sebagai bekal menghadap Allah subhanahu wata'ala. Jika Nabi shollallahu 'alaihi wasallam menasehatkan kepada abdullah bin umar agar dia menjadi orang asing, atau orang yang sedang lewat dalam kehidupan dunia ini, maka tentunya selainnya lebih pantas untuk menerapkan nasehat ini.  Seorang yang menyadari bahwa dirinya asing, tentunya dia akan mempersiapkan bekal untuk menuju tempat tinggalnya yang sebenarnya. Adapun keberadaannya di dunia ini hanya sebatas untuk mencari bekal saja. Maka demikian pula manusia, mereka diciptakan oleh Allah subhanahu wata'ala di dunia ini adalah untuk beribadah kepadaNya. Allah subhanahu wata'ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56)
(artinya) : dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah kepadaKu. (Adz dzariayt : 56)

Ibadah yang seorang lakukan, pada hakekatnya merupakan bekal baginya tatkala dia telah meninggalkan dunia ini. Oleh karena itu, sudah sepantasnya bagi kita semua untuk memperbanyak ibadah kepada Allah subhanahu wata'ala. Adapun harta benda yang seorang miliki, itu akan dia tinggalkan. Tidak ada yang ikut bersamanya melainkan hanya amalannya. Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ ».

(artinya) : yang mengikuti mayit ada tiga, yang dua kembali dan yang satu tinggal bersamanya. Yang mengikutinya adalah keluarganya, hartanya, dan amalannya. Maka kembalilah keluarganya dan hartanya. Adapun amalannya tetap tinggal bersamanya. (HR. Al bukhori no. 6514 dan Muslim no. 7613 dari Anas bin Malik)

Namun sungguh sangat disayangkan, banyak dari kaum muslimin yang mereka terlena dengan kehidupan dunia ini. Tidak sedikit dari mereka yang berlomba-lomba untuk mendapatkan dunia sebanyak-banyaknya. Mereka lalai dari beribadah kepada Allah subhanahu wata'ala. Sehingga kita dapati sebagai contoh, tatkala adzan telah dikumandangkan mereka masih sibuk bekerja. Mereka lebih memilih tempat kerja mereka daripada masjid-masjid Allah subhanahu wata'ala. Padahal dalam Al Quran Allah subhanahu wata'ala telah mengingatkan:
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (17)

(artinya) : Bahkan kalian lebih memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (Al A’la : 16-17)

Dalam ayat yang lain Allah subhanahu wata'ala berfirman:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ (20)

(artinya) : Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (al hadid :20)

Berkata Asy syaikh As sa’di dalam tafsirnya : Allah subhanahu wata'ala dalam ayat ini mengkhabarkan tentang hakekat kehidupan dunia dan apa yang ada di atasnya. Dan Allah subhanahu wata'ala menjelaskan pula tentang puncak dari kehidupan dunia dan penduduknya, yaitu merupakan permainan dan suatu yang melalaikan. Yang mana badan itu bermain-main dengannya dan hatipun terlalaikan dengannya. Dan bukti dari hal ini adalah kenyataan yang ada dari ahlu (pecinta) dunia. Sesungguhnya engkau dapati mereka menghabiskan waktu mereka untuk hal-hal yang melalaikan hati mereka, melupakan dari dzikir kepada Allah subhanahu wata'ala, dan juga lalai dari mengingat apa yang akan mereka dapatkan (di hari kiamat) dari janji (surga) dan ancaman (neraka). Sehingga engkau dapati mereka menjadikan agama mereka sebagai permainan dan hal-hal yang melalaikan. 
Hal ini berbeda keadaannya dengan orang yang sadar (akan hakekat dunia ini) dan orang yang beramal untuk akhirat. Maka sesungguhnya hati-hati mereka dimakmurkan (dipenuhi) dengan dzikir kepada Allah subhanahu wata'ala, mengenalNya, mencintaiNya. Dan mereka menyibukkan waktu-waktu mereka dengan amalan yang akan mendekatkan diri mereka kepada Allah subhanahu wata'ala, baik dengan melakukan amalan yang manfaatnya menyangkut diri sendiri ataupun amalan yang manfaatnya menyangkut orang lain. (taisir al karim ar rahman : 540)

Seorang yang telah merasakan nikmatnya kehidupan dunia, akan muncul pada dirinya keinginan untuk hidup lebih lama lagi di dunia ini. Dan begitu pula sebaliknya, seorang yang mengalami berbagai kesulitan hidup di dunia ini, dia berkeinginan untuk segera lepas dari dunia ini. Sehingga tak jarang kita dapati seorang itu mengakhiri hidupnya karena masalah yang dia hadapi. Oleh karena itu hendaklah seorang itu memahami hakekat kehidupan dunia ini, agar dia tidak salah melangkah.

Dunia ini, memang merupakan tempat ujian. Dimana seorang diuji keimanannya kepada Allah subhanahu wata'ala. Sehingga tidak ada seorang pun yang lepas dari ujian tersebut. Orang yang kaya dan hidup nikmat, dia diuji dengan kekayaannya dan kenikmatannya. Apabila dia bersyukur dan mengakui kenikmatan itu dari Allah subhanahu wata'ala, niscaya Allah subhanahu wata'ala akan tambahkan kenikmatannya. Namun apabila dia kufur (mengingkari nikmat) maka sesungguhnya adzab Allah subhanahu wata'ala sangatlah pedih.

Dan betapa banyak, seorang yang diuji dengan kenikmatan lalu akhirnya dia mengkufuri nikmat tersebut, sehingga dia pun binasa. Sebagai contohnya adalah Qarun. Allah subhanahu wata'ala telah memberikan kenikmatan yang sangat banyak kepadanya. Akan tetapi dia mengkufuri nikmat tersebut, sehingga Allah subhanahu wata'ala pun membinasakannya. Hal ini sebagaimana Allah subhanahu wata'ala kisahkan dalam Al Quran:
إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ (76) وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (77) قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ (78) فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (79) وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ (80) فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِينَ (81)
(artinya) : Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Qarun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku." Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar." Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar." Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya). (Al qoshosh : 76-81)

Adapun orang yang miskin dan juga menderita, dia juga diuji dengan kemiskinannya dan penderitaannya. Apabila dia bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah subhanahu wata'ala niscaya dia akan beruntung. Bahkan Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam sendiri, beliau diuji dengan kemiskinan oleh Allah subhanahu wata'ala. Dan demikian pula banyak dari kalangan shahabat yang mereka diuji dengan kemiskinan. Namun, mereka semua bersabar dalam menjalaninya. Mereka paham bahwa dunia ini bukanlah tempat mereka selamanya. Mereka akan kembali kepada Allah subhanahu wata'ala nantinya. Sehingga Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam pun tidak mengkhawatirkan kemiskinan menimpa para shahabatnya, bahkan yang beliau khawatirkan adalah dibentangkannya dunia ini sehingga nantinya mereka tersibukkan dengannya. Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:
فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ عَلَيْكُمُ الدُّنْيَا كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُم.
(artinya) : demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan menimpa kalian. Akan tetapi aku khawatir jika dibentangkan dunia kepada kalian sebagaimana telah dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian. Sehingga kalian pun berlomba-lomba (untuk mendapatkannya) sebagaimana mereka dahulu berlomba-lomba. Lalu dunia itu pun membinasakan kalian sebagaimana dahulu telah membinasakan mereka. (HR. Al bukhori no.6425 dan Muslim no. 7614 dari ‘Amr bin ‘Auf)

Kalau saja seorang itu memahaminya, tentunya dia tidak akan mendahulukan kehidupan dunia dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Dia akan giat melakukan amalan-amalan untuk  dijadikan sebagai bekal di akhirat nanti. Oleh karena itu penting bagi kita untuk senantiasa memupuk keimanan kita agar tidak terlalaikan dengan kehidupan dunia.

Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam menasehatkan:
 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ ، يَعْنِي الْمَوْتَ.
(artinya) : perbanyaklah oleh kalian mengingat penghancur segala kenikmatan, yakni al maut (kematian). (HR. Ibnu Majah no. 4258 dari Abu Hurairoh). Dan cukuplah apa yang disampaikan oleh Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam ini sebagai pendorong untuk seorang banyak-banyak beramal kebaikan. Wallahu a'lam.

 penulis : Abu Ali Banyumas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar